Ngeblog Dapat Duit

Kamis, 12 Januari 2012

Asuhan Keperawatan Cedera Tulang Belakang


BAB I
KONSEP PENYAKIT
A.    Definisi
            Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrae merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).

            Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).

            Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang pada tulang belakang, ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah ke medula spinalis dapat ikut terputus .

JENIS FRAKTUR
a.    Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.
b.    Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
c.    Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
d.    Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
e.    Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.
f.     Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
g.    Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen
h.    Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
i.      Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
j. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.

B.    Etiologi
Adapun penyebab dari fraktur menurut Brunner and Suddart, 2001 adalah sebagai berikut :
1)    Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut terjadi pada saat benturan dengan benda keras.
2)    Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan dapat mengakibatkan dislokasi atau fraktur.
3)    Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya.
4)    Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan “Body Mekanik” yang salah seperti mengangkat benda berat.
5)    Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)
6)    Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
7)    Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang. (Harsono, 2000).

C.   Tanda dan Gejala
   Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi. kerusakan meningitis; lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal. shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.

Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.

Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat. cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh tulang belakang sekonyong-konyong dihiperekstensi. gambaran klinik berupa tetraparese parsial. gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu.

Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anastesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa.
Gambaran klinis:
a)    Nyeri leher atau punggung
b)    Spasme otot local
c)    Paralysis atau parese
d)    Gangguan sensoris
e)    Pada level cervical : tetraplegia atau tetraparesis
f)     Pada level thorakal atau lumbal : paraplegi/parese
g)    Diagnosa pasti : foto





Dermatom  tulang belakang
Tulang Belakang Manusia
Bagian dalam Tubuh Manusia
Gejala dan Pengaruh

1C
Aliran Darah ke Otak, Kulit kepala, Tulang Muka, Otak, Saraf Simpatetis Kronis, Empyema, Hidung
Insomnia, Darah Tinggi, Amnesia, Pusing-pusing, Lemah Saraf, Kelelahan, Migrain.
2C
Mata, Saraf Mata, Telinga, Saraf Pendengaran, Leher, Arteri, Vena, Dahi
Mata Juling, Sakit Telinga, Tuli, Sinusitis
3C
Pipi, Pangkal Telinga, Gigi, Tulang Muka
Nyeri Saraf, Radang Saraf, Jerawat, Eksim
4C
Hidung, Bibir, Mulut
Flu, Sakit Telinga, Radang Tenggorokan, Amandel
5C
Pita Suara
Pita Suara Bronkhitis
6C
Otot Leher, Pundak, Amandel
Nyeri Leher dan Pundak, Nyeri Lengan atas, Amandel, Sesak Nafas, Batuk Kronis
7C
Kelenjar Gondok, Siku Tangan, Tulang Pundak
Demam
1T
Kerongkongan, Siku Pergelangan Tangan,
Jari,Tenggorokan
Asma, Batuk, Sesak Nafas, Tangan Kesemutan
2T
Jantung dan Arteri Jantung
3T
Paru-paru, Trakea, Kantong Paru-paru
Sakit Mata, Radang Paru-paru, Radang Trakea, Demam
4T
Empedu
Sakit kuning, Herpes
5T
Lever Peredaran Darah
Demam, Masalah Tekanan Darah, Gangguan Peredaran Darah, Radang Sendi
6T
Lambung
Gangguan Pencernaan
7T
Pankreas, Usus Dua Belas Jari
Radang Lambung
8T
Limpa
Daya Penyembuhan Alami Berkurang
9T
Kelenjar Adrenalin, Ginjal
Alergi, Penyakit Kulit
10T
Ginjal
Gangguan Ginjal, Lelah Kronis, Pengerasan Arteri, Radang Ginjal
11T
Ginjal dan Ureter
Jerawat, Eksim, Sakit Kulit
12T
Usus Kecil, Sistem Peredaran Limpa
Rematik, Perut Kembung, Mandul
1L
Usus Besar
Sembelit, Radan Usus Besar, Diare
2L
Usus Buntu, Perut, Daerah Paha
Keram Otot, Sesak Nafas
3L
Organ Reproduksi, Rahim, Kantong Kencing, Lutut Kaki
Sakit Kandung Kemih, Nyeri Haid, Keringat Dingin Waktu Tidur, Depresi, Keguguran, Encok Sendi
4L
Kelenjar Prostat, Encok Pinggul, Daerah Lutut
Encok Pinggul, Sakit Pinggang, Kencing Tidak Lancar, Nyeri Punggung
5L
Bagian Luar Kaki, Nyeri Daerah Kaki Bawah atau Engkel
Gangguan Peredaran Darah di Kaki (Dingin), Bengkak Pergelangan Kaki, Nyeri Daerah Kaki

Tulang Pinggul
Reproduksi Rahim, Tulang Pinggu, Pantat

Penyakit Kelenjar, Prostat, Tulang Membengkak, Penyakit Rahim, Wasir, Radang Anus, Nyeri Tulang Ekor Waktu Duduk
Tulang Ekor
Anus, Tulang Ekor



Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik pada trauma tulang servikal dipergunakan Frankel Score.
1)    FRANKEL SCORE A: kehilangan fingsi motorik dan sensorik lengkap (complete loss)
2)    FRANKEL SCORE B: Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
3)     FRANKEL SCORE C: Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna (dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
4)    FRANKEL SCORE D: Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak dengan normal ”gait”).
5)    FRANKEL SCORE E: Tidak terdapat gangguan neurologik.

D.   Patofisiologi

            Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medula spinalis, tetapi lesi traumatic pada medula spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medula spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsafleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia.

            Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertikal (terutama pada T.12 sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medula spinalis dapat bersifat sementara atau menetap. akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medula spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medula spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis. 

            Laserasi medula spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan/menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversal, hemitransversal, kuadran transversal). hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasi. kompresi medula spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.

            Suatu segmen medula spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medula spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.

            Akibat hiperekstensi dislokasi, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis. pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible. jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistem anastomosis anterial anterior spinal.

E.    Pemeriksaan Diagnostik
1.    Sinar x spinal              : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislokasi)
2.    CT scan                      : untuk menentukan tempat luka/jejas
3.    MRI                             : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
4.    Foto rongent thorak    : mengetahui keadaan paru
5.    AGD                            : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi (Tucker,Susan Martin . 1998)

F.    Penatalaksanaan Medis

Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder. untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras. pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana pun yang beralas keras. selalu harus diperhatikan jalan nafas dan sirkulasi. bila dicurigai cedera didaerah servikal harus diusahakan agar kepala tidak menunduk dan tetap ditengah dengan menggunakan bantal kecil untuk menyanngga leher pada saat pengangkutan.

Perawatan penderita memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya penyakit. perawatan ditujukan pada pencegahan :
1)    Kulit : agar tidak timbul dekubitus karena daerah yang anaestesi.
2)    Anggota gerak : agar tiadak timbul kontraktur.
3)    Traktus urinarius : menjamin pengeluaran air kemih.
4)    Traktus digestivus : menjamin kelancaran bab.
5)    Traktus respiratorius : apabila yang terkena daerah servikal sehingga terjadi pentaplegi.

Perawatan:
1. Faktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan sembuh.. 

2. Fraktur dengan kelainan neorologis. 
Fase Akut (0-6 minggu)
a. Live saving dan kontrol vital sign
b. Perawatan trauma penyerta
1)    Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
2)    Perawatan trauma lainnya.
c. Fraktur/Lesi pada vertebra

1) Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)
Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus, terutama simple kompressi.

2) Operatif

Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:

1.    Laminektomi merupakan mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks.
2.    fiksasi interna dengan kawat atau plate
3.    anterior fusion atau post spinal fusion

3) Perawatan status urologi
      Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran. Pada fase akut dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih kurang 400 cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek detrusor dapat kembali.

Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
b) Manuver crede
c) Ransangan sensorik dan bagian dalam paha
d) Gravitasi/ mengubah posisi
4) Perawatan dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena berkurangnya vaskularisasi didaerah tersebut.

4) Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis
      Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena “wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability

Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:
1)    Dislokasi feset >50%
2)    Loss of paralelisine dan feset.
3)    Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
4)    ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
5)    Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP

      Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed reduction dengan atau tanpa anastesi. Sebaiknya tanpa anastesi karena masih ada kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan spinal cord.

Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis

      Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.


BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
  1. PENGKAJIAN
    Pengkajian pada klien dengan trauma tulang belakang meliputi:
1)    Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
2)    Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
3)    Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik hilang
4)    Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
5)    gelisah dan menarik diri
6)    Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
7)    Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
8)    Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, 
9)    Hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil
10) Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan Mengalami deformitas pada daerah trauma
11) Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
12) Keamanan : suhu yang naik turun
(Carpenito (2000), Doenges at al (2000))

B.   DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.     Nyeri akut y.b.d trauma jaringan syaraf
2.     Ansietas y.b.d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri
3.     Nutrisi kurang dari kebutuhan y.b.d. mual, muntah
4.    Kerusakan mobilitas fisik y.b.dkelumpuhan
5.    Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan.


C.   INTERVENSI
1.    Nyeri akut y.b.d trauma jaringan syaraf
a)    Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam klien mampu mengontrol nyeri
b)    kriteria hasil :  
1)    Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
2)    Mengikuti program pengobatan yang diberikan
3)    Menunjukan penggunaan teknik relaksasi
c)    Intervensi :
1)    Kaji tipe atau luka nyeri. Perhatikan intensitas pada skala 0-10. Perhatikan respon terhadap obat.
Rasional : Menguatkan indikasi ketidaknyamanan, terjadinya komplikasi dan evaluasi keefektivan intervensi.
2)    motivasi penggunaan teknik menejemen stres, contoh napas dalam dan visualisasi.
Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan koping, menghilangkan nyeri.
3)    Kolaborasi pemberian obat analgesik
Rasional : mungkin dibutuhkan untuk penghilangan nyeri/ketidaknyamanan.

2.    Nutisi kurang dari kebutuhan tubuh y.b.d mual, muntah
a.    Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam nutrisi pasien terpenuhi
b.    Kriteria hasil:
1)    Makanan masuk
2)    BB pasien naik
3)    Mual, muntah hilang
c.    Intervensi:
1)    Berikan makan dalam porsi sedikit tapi sering
Rasional: memberikan asupan nutrisi yang cukup bagi pasien
2)    Sajikan menu yang menarik
Rasional: Menghindari kebosanan pasien, untuh menambah ketertarikan dalam mencoba makan yang disajikan
3)    Pantau pemasukan makanan
Rasional: Mengawasi kebutuhan asupan nutrisi pada pasien
4)    Kolaborasi pemberian suplemen penambah nafsu makan
Rasional: kerjasama dalam pengawasan kebutuhan nutrisi pasien selama dirawat di rumah sakit

3.    Ansietas y.b.d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri
a.    Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam, klien memiliki rentang respon adaptif.
b.    Kriteria hasil :
1)    Tampak relaks dan melaporkan ansietas menurun sampai dapat ditangani.
2)    Mengakui dan mendiskusikan rasa takut.
3)    Menunjukkan rentang perasaan yang tepat.
c.    Intervensi :
1)    Dorong ekspresi ketakutan/marah
Rasional : Mendefinisikan masalah dan pengaruh pilihan intervensi.
2)    Akui kenyataan atau normalitas perasaan, termasuk marah
Rasional : Memberikan dukungan emosi yang dapat membantu klien melalui penilaian awal juga selama pemulihan
3)    Berikan informasi akurat tentang perkembangan kesehatan
Rasional : Memberikan informasi yang jujur tentang apa yang diharapkan membantu klien/orang terdekat menerima situasi lebih efektif.
4)    Dorong penggunaan menejemen stres, contoh : napas dalam, bimbingan imajinasi, visualisasi.
Rasional : membantu memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi, dan meningkatkan penigkatan kemampuan koping.

4.    kerusakan mobilitas fisik y.b.dkelumpuhan


a)    Tujuan
selama perawatan gangguan mobilisasi bisa di minimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan.
b)    Kriteria hasil
tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap.
c)    Intervensi:
1.    Kaji secara teratur fungsi motorik.
Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum
2.    Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan.
Rasional memberikan rasa aman
3.    Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif
4.    Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki.
Rasional mencegah footdrop
5.    Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling.
Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik
6.    Inspeksi kulit setiap hari.
Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit.
7.    Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam.
Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas.

5.    Perubahan pola eliminasi urine y.b.dkelumpuhan syarat perkemihan.
a)    Tujuan
pola eliminasi kembali normal selama perawatan
b)    Kriteria hasil
produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada
c)    Intervensi:
1.    Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.
Rasional : mengetahui fungsi ginjal
2.    Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
3.    Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari.
Rasional : membantu mempertahankan fungsi ginjal.

0 komentar:

Iklan