Ngeblog Dapat Duit

Selasa, 10 Januari 2012

Asuhan Keperawatan Cedera Kepala

A. Pengertian
Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Sylvia anderson Price, 1985). Cidera pada kepala mengenai kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala merupakan peristiwa yang sering terjadi dan mengakibatkan kelainan neurologis yang serius serta telah mencapai proporsi epidemik sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan.
Kadar alkohol darah yang melebihi kadar aman telah ditemukan pada lebih dari 50% pasien cedera kepala yang ditangani di bagian kedaruratan. Sedikitnya separuh dari pasien dengan cedera kepala berat mengalami cedera yang signifikan pada bagian tubuh lainnya.
Cedera tengkorak dan kulit kepala
1.    cedera kulit kepala dapat mengakibatkan suatu abrasi (luka memar), kontusio, laserasi atau avulsi. Karena banyaknya pembuluh darah, kulit kepala dapat mengalami perdarahan sangat banyak ketika cedera. Luka kulit kepala merupakan entri portal untuk infeksi intrakranial.
2.    Fraktur pada area tengkorak adalah terputusnya kontinuitas tulang tengkorak yang disebabkan oleh trauma. Fraktur ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak, dikelompokkan sebagai fraktur terbuka ( duramater mengalami robekan ) atau fraktur tertutup ( duramater tidak robek )
B. Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :
  1. oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal : kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
  2. trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum.
C. Patofisiologi
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus – menerus dapat menyebabkan hipoksia sehingga tekanan intra kranial akan meningkat.
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan meneyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
  

D. Klasifikasi
Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
1.        Cedera Kepala Ringan (CKR)
Jika GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak, kontusio atau temotom (sekitar 55%).
2.        Cedera Kepala Sedang (CKS)
Jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
3.        Cedera Kepala Berat (CKB)
Jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema selain itu ada istilah – istilah lain untuk jenis cedera kepala sebagai berikut :
-          Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai merusak tulang tengkorak
-          Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan disertai edema cerebra
Cidera kepala diklasifikasikan menjadi dua :
  1. Cidera kepala terbuka
  2. Cidera kepala tertutup
1. Cidera kepala terbuka
Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala duramater disertai cidera jaringan otak karena impressi fractura berat. Akibatnya, dapat menyebabkan infeksi di jaringan otak. Untuk pencegahan, perlu operasi dengan segera menjauhkan pecahan tulang dan tindakan seterusnya secara bertahap.
Fractura Basis Cranii
Fractura ini dapat terletak di depan, tengah, atau di belakang. Gejala fractura di depan:
  1. Rhino liquore disertai lesi di sinus-frontalis pada ethmoidal, spenoidal, dan arachnoidal.
  2. Pneunoencephalon, karena pada fractura basis cranii udara dari sinus maksilaris masuk ke lapisan selaput otak encepalon.
  3. Monokli haematoma, adalah haematoma pada biji mata, karena pada orbita mata dan biji lensa mata memberi gejala pendarahan intracranialis pula.
Fractura bagian tengah basis cranii antara lain memberi gejala khas menetesnya cairan otak bercampur darah dari telinga: otoliquor, melalui tuba eustachii. Gambaran rontgen sebagai tanda khas pada fractura basis cranii selalu hanya memperlihatkan sebagian. Karena itu, dokter-dokter ahli forensik selalu menerima kalau hanya ada satu tanda-tanda klinik.
Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii antara lain anosmia (I); gangguan penglihatan (II); gangguan gerakan-gerakan biji mata (III,IV, V); gangguan rasa di wajah (VI); kelumpuhan facialis (VII); serta ketulian bukan karena trauma octavus tetapi karena trauma pada haemotympanon. Pada umumnya, N. VIII - XII jaringan saraf otak tidak akan rusak pada fractura basis cranii. Kalau fractura disebut fractura impressio maka terjadi dislocatio pada tulang-tulang sinus tengkorak kepala. Hal ini harus selalu diperhatikan karena kemungkinan ini akibat contusio cerebri.
2. Cidera kepala tertutup
Pada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak, terjadi keretakan-keretakan. Dalam keadaan seperti ini, timbul garis/linea fractura sedemikian rupa sehingga menyebabkan luka pada daerah periferia a. meningia media, yang menyebabkan perdarahan arteri. Haematoma dengan cepat membesar dan gambaran klinik juga cepat merembet, sehingga tidak kurang dari 1 jam terbentuk haematomaepiduralis. Penentuan diagnosis sangat berarti lucidum intervalum (mengigat waktu yang jitu dan tepat). Jadi, pada epiduralis haematoma, sebenarnya jaringan otak tidak rusak, hanya tertekan (depresi). Dengan tindakan yang cepat dan tepat, mungkin pasien dapat ditolong. Paling sering terdapat di daerah temporal, yaitu karena pecahnya pembulnh darah kecil/perifer cabang-cabang a. meningia media akibat fractura tulang kepala daerah itu (75% pada Fr. Capitis).


a.    Epiduralis haematoma 
Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus. Foto rontgen kepala sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah pengawasan terhadap pasien. Saat ini, diagnosis yang cepat dan tepat ialah CT scan atau Angiografi. Kadangkala kita sangat terpaksa melakukan "Burr hole Trepanasi", karena dicurigai akan terjadi epiduralis haematoina. Dengan ini sekaligus bisa didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk epiduralis haematoma adalah suatu kejadian yang gawat dan harus segera ditangani.
Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
b.    Subduralis haematoma akut
Kejadian akut haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil sinus vena pecah atau terjadi perdarahan. Atau jembatan vena bagian atas pada interval yang akibat tekanan lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). Pada kejadian akut haematoma, lucidum intervalum akan terasa setelah beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis di sini jarang memberi gejala epileptiform pada perdarahan dasar duramater. Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa Fractura Cranii, namun pembuluh darah arteri dan vena di corteks terluka. Pasien segera pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang pembuluh darah besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus ini sering dijumpai kombinasi dengan intracerebral haematoma sehingga mortalitas subdural haematoma akut sangat tinggi (80%).
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
c.    Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna “pelebaran pembuluh darah”. Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Gambaran klinik tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan ingatan karena timbulnya gangguan meningeal. Akut Intracerebralis Haematoma terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah pula karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah "subduralis haematoma", disertai gejala kliniknya.
Tanda dan gejala : Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
d. Contusio Cerebri
Di antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan tipe centralis - kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, atau kelumpuhan syaraf-syaraf otak, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
E. Manifestasi klinis
Cidera otak karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala, cidera akut dengan cepat menyebabkan pingsan (coma), yang pada akhirnya tidak selalu dapat disembuhkan. Karena itu, sebagai penunjang diagnosis, sangat penting diingat arti gangguan vegetatif yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan puyeng. Gangguan vegetatif tidak dilihat sebagai tanda-tanda penyakit dan gambaran penyakit, namun keadaannya reversibilitas. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut. Fraktur pada basal tulang tengkorak seringkali menyebabkan hemoragi dari hidung, faring , atau telinga dan darah mungkin akan terlihat pada konjungtiva.
Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/ pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad). Timbul tanda-tanda lemah ingatan, cepat lelah, amat sensitif, negatifnya hasil pemeriksaan EEG, tidak akan menutupi diagnosis bila tidak ada kelainan EEG.
Koma akut tergantung dari beratnya trauma/ cidera. Akibatnya juga beraneka ragam, bisa terjadi sebentar saja dan bisa hanya sampai 1 menit. Catatan kesimpulan mengenai cidera kepala akan lebih kalau terjadi koma berjam-jam atau seharian, apalagi kalau tidak menampakkan gejala penyakit gangguan syaraff. Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak akan terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.

Peningkatan Tekanan Intra Kranial
            Tekanan intracranial didefinisikan sebagai tekanan dalm rongga cranial dan biasanya diukur sebagai tekanan dalm ventrikel lateral otak ( Joanna Beeckler, 2006). Tekanan intracranial normal adalah 0-15 mmHg. Nilai diatas 15 mmHg dipertimbangkan sebagai hipertensi intracranial atau peningkatan tekanan intracranial ( Morton, 2005 ). TIK umumnya terjadi pada cedera kepala, stroke hemorrhagic, trombotik, tumor otak.
            Ruang intracranial : jaringan otak (80%), darah (10%), dan cairan cerebrospinal (10%). TIK secara umum disebabkan oleh 4 faktor yaitu peningkatan cerebral blood volume, edema serebri, obstruksi aliran CSS, efek massa. Manifestasi klinis terjadinya TIK yaitu nyeri kepala, papiledema, muntah sering proyektil. Monitoring TIK paling sering dilakukan pada trauma kepala dengan situasi GCS kurang dari 8, mengantuk/drowsy dengan hasil CT scan, post op evakuasi hematoma.
            Tujuan penatalaksanaan darri TIK adalah mendeteksi dini dari tanda – tanda peningkatan TIK akut, mengurangi munculnya edema, mencegah formasi edema cerebral selanjutnya. Pemeriksaan diagnostic :
- Scan otak , meningkat  isotop pada tumor.
- Angiografi cerebral, deviasi pembuluh darah.
- X-ray tengkorak, erosi posterior atau adanyaklasifikasi intracranial.
- X-ray dada, deteksi tumor paru primer atau penyakit metastase.
- CT Scan atau MRI , ientifikasi vaskuler tumorperubahan ukuran ventrikel serebral.
- Ekoensefalogram, peningkatan pada struktur midline.
- Pemeriksaan lumbal pungsi.



CPP = MAP - TIK
 
 


Ket :
CPP : Cerebral Perfution Pressure
MAP : Mean Arteri Pressure ( 2. Diastole + 1. Sistole )
                                                                   3
TIK : Tekanan Intra Kranial
F. Pemeriksaan diagnostik
  1. Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau ruptur atau fraktur).
  1. CT Scan
Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
  1. Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
  1. MRI (magnetic imaging resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
  1. Thorax X ray
Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
  1. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
  1. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
G. Pengobatan
Konservatif :
·         Bedrest total
·         Observasi tanda – tanda vital dan tingkat kesadaran
·         Berikan obat – obatan
ò           Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
ò           Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi.
ò           Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
ò           Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
ò           Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
ò           Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.
ò           Pembedahan.
Penderita trauma saraf spinal akut yang diterapi dengan metilprednisolon (bolus 30 mg/kg berat badan dilanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam), akan menunjukkan perbaikan keadaan neurologis bila preparat itu diberikan dalam waktu paling lama 8 jam setelah kejadian (golden hour). Pemberian nalokson (bolus 5,4 mg/kg berat badan dilanjutkan dengan 4,0 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam) tidak memberikan perbaikan keadaan neurologis pada penderita trauma saraf spinal akut.
Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis yang akurat, dapat memperbaiki jeadaan neurologis akibat efek inhibisi terjadinya reaksi peroksidasi lipid. Dengan kata lain, metilprednisolon bekerja dengan cara:
  • Menyusup masuk ke lapisan lipid untuk melindungi fosfolipid dan komponen membran lain dari kerusakan.
  • Mempertahankan kestabilan dan keutuhan membran.
  • Mencegah perembetan kerusakan sel-sel lain di dekatnya.
  • Mencegah berlanjutnya iskemia pascatrauma.
  • Memutarbalikkan proses akumulasi kalsiun intraseluler.
  • Menghambat pelepasan asam arakhidonat.
ASUHAN KEPERAWATAN
A.    Pengkajian
BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
  • Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
  • Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
  • Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
  • Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
  • Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
  • Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.


BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
Kumpulkan riwayat kesehatan yang mencakup hal berikut :
-       Waktu terjadinya cedera
-       Arah dan kekuatan benturan
-       Apakah terjadi ketidaksadaran
Glasgow Coma Seale (GCS), Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami cedera kepala. Evaluasi ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka mata.
1.    Membuka mata
-       Spontan                       : 4
-       Rangsang suara          : 3
-       Rangsang nyeri           : 2
-       Tidak ada respon        : 1
2.    Verbal
-       Orientasi baik              : 5
-       Orientasi terganggu    : 4
-       Kata-kata tidak jelas   : 3
-       Suara tidak jelas         : 2
-       Tidak ada respon        : 1
3.    Motorik
-       Mampu bergerak        : 6
-       Melokalisasi nyeri       : 5
-       Fleksi menarik                        : 4
-       Fleksi abnormal          : 3
-       Ekstensi                      : 2
-       Tidak aada respon      : 1

B.    Diagnosa keperawatan
  1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.
  2. Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.
  3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial.
  4. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.
  5. Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
  6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit meningkat.
  7. Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan.
  8. Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata.
C.   Rencana Intervensi Keperawatan
1)    Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan:
  • Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
  • Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi
Rasional
Tentukan faktor-faktor yg  menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.

Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.

Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.





Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.









Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.





Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.

Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.

Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.

Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.
Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif.

Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III).
Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral.
Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.

Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.
Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.

2)    Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
·         mempertahankan pola pernapasan efektif.
       Kriteria evaluasi:
·         bebas sianosis, GDA dalam batas normal

Intervensi
Rasional
Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.

Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.




Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
Lakukan ronsen thoraks ulang.


Berikan oksigen.



Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.

Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
Mencegah/menurunkan atelektasis.


Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan.
Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.


Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.
Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau bronkopneumoni.
Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.


3)    Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
      Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi
Rasional
Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
Berikan antibiotik sesuai indikasi
Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.

Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.

Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.

Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.

0 komentar:

Iklan