Ngeblog Dapat Duit

Jumat, 13 Januari 2012

Asuhan Keperawatan Abses Otak


1.1.   Definisi.
Abses otak adalah kumpulan nanah yang terbungkus oleh suatu kapsul dalam jaringan otak yang disebabkan karena infeksi bakteri atau jamur. Abses otak biasanya akibat komplikasi dari suatu infeksi, trauma atau tindak pembedahan. Keadaan-keadaan ini jarang terjadi, namun demikian insidens terjadinya abses otak sangat tinggi pada penderita yang mengalami gangguan kekebalan tubuh (seperti penderita HIV positif atau orang yang menerima transplantasi organ).

1.2.   Etiologi
Berbagai mikroorganisme dapat ditemukan pada AO, yaitu bakteri, jamur dan parasit.
Bakteri yang tersering adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob, Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus alpha hemolyticus, E. coli dan Baeteroides.
Abses oleh Staphylococcus biasanya berkembang dari perjalanan otitis media atau fraktur kranii. Bila infeksi berasal dari sinus paranasalis penyebabnya adalah Streptococcus aerob dan anaerob, Staphylococcus dan Haemophilus influenzae.
Abses oleh Streptococcus dan Pneumococcus sering merupakan komplikasi infeksi paru. Abses pada penderita jantung bawaan sianotik umumnya oleh Streptococcus anaerob. Penyakit jantung bawaan sianotik dengan pirau dari kanan ke kiri. (misalnya pada Tetralogy of Fallot), terutama pada anak berusia lebih dari 2 tahun, merupakan factor predisposisi terjadinya abses otak .
1.      Jamur penyebab AO antara lain Nocardia asteroides, Cladosporium trichoides dan spesies Candida dan Aspergillus. Walaupun jarang, Entamuba histolitica, suatu parasit amuba usus dapat menimbulkan AO secara hematogen.
2.      Komplikasi dari infeksi telinga (otitis media, mastoiditis )hampir setengah dari jumlah penyebab abses otak serta Komplikasi infeksi lainnya seperti ; paru-paru (bronkiektaksis,abses paru,empiema )jantung ( endokarditis ), organ pelvis, gigi dan kulit.




1.3.   Patofisiologi

Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi leukosit atau melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa hari atau minggu dari fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista berisi pus. Kemudian terjadi ruptur, bila terjadi ruptur maka infeksi akan meluas keseluruh otak dan bisa timbul meningitis.

AO dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.

AO bersifat soliter atau multipel. Yang multipel biasanya ditemukan pada penyakit jantung bawaan sianotik; adanya shunt kanan ke kiri akan menyebabkan darah sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia ini memudahkan terjadinya trombo-emboli. Umumnya lokasi abses pada tempat yang sebelumnya telah mengalami infark akibat trombosis; tempat ini menjadi rentan terhadap bakteremi atau radang ringan. Karena adanya shunt kanan ke kin maka bakteremi yang biasanya dibersihkan oleh paru-paru sekarang masuk langsung ke dalam sirkulasi sistemik yang kemudian ke daerah infark. Biasanya terjadi pada umur lebih dari 2 tahun. Dua pertiga AO adalah soliter, hanya sepertiga AO adalah multipel. Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter.

1.4.   Klasifikasi
Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu :
1.      Stadium serebritis dini (Early Cerebritis) (hari ke 1 – 3)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit, limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita otak dan peningkatan efek massa karena pembesaran abses.

2.      Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis) (hari ke 4 – 9)
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis membesar oleh karena peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblast yang terpencar. Fibroblast mulai menjadi reticulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar

3.      Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation) (hari ke 10 – 14)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit di sekitar otak mulai meningkat.

4.      Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation) (setelah hari ke 14)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran histologis sebagai berikut:
a.       Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.
b.      Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
c.       Kapsul kolagen yang tebal.
d.      Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.
e.       Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.

Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis.
Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen.

1.5.   Tanda Dan Gejala Klinis
Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejalagejala peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya AO gejala menjadi khas berupa
trias abses otak yang terdiri dari gejala infeksi, peninggian te-kanan intrakranial dan gejala neurologik fokal

1)      Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai kesadaran yang menurun me-nunjukkan prognosis yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum ventrikel
2)      Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan hem ianopsi   komplit. Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal adalah gejala sensorimotorik
3)      Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor,  dismetri dan nistagmus.
4)      Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan berakibat fatal.


1.6.   Pemeriksaan Dan Diagnosis

a.       Anamnesis:
Sakit kepala merupakan keluhan dini yang paling sering dijumpai (70 – 90%). Terkadang juga didapatkan mual, muntah dan kaku kuduk (25%).

b.      Pemeriksaan fisik:
Panas tidak terlalu tinggi. Defisit neurologis fokal menunjukkan adanya edema di sekitar abses. Kejang biasanya bersifat fokal. Gangguan kesadaran mulai dari perubahan kepribadian, apatis sampai koma. Apabila dijumpai papil edema menunjukkan bahwa proses sudah berjalan lanjut. Dapat dijumpai hemiparese dan disfagia.

c.       Pemeriksaan laboratorium:
a.       Darah: jarang dapat memastikan diagnosis. Biasanya lekosit sedikit meningkat dan laju endap darah meningkat pada 60% kasus
b.      Cairan Serebro Spinal (CSS): dilakukan bila tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial (TIK) oleh karena dikhawatirkan terjadi herniasi

d.      Pemeriksaan radiologi:
CT Scan: CT scan kepala dengan kontras dapat dipakai untuk memastikan diagnosis. Pada stadium awal (1 dan 2) hanya didapatkan daerah hipodens dan daerah irreguler yang tidak menyerap kontras. Pada stadium lanjut (3 dan 4) didapatkan daerah hipodens dikelilingi cincin yang menyerap kontras.



1.7.   Diagnosa
Gejala awal abses otak tidak jelas karena tidak spesifik. Pada beberapa kasus, penderita yang berobat dalam keadaan distress, terus menerus sakit kepala dan semakin parah, kejang atau defisit neurologik (misalnya otot pada salah satu sisi bagian tubuh melemah). Dokter harus mengumpulkan riwayat medis dan perjalanan penyakit penderita serta keluhan-keluhan yang diderita oleh pasien. Harus diketahui kapan keluhan pertama kali timbul, perjalanan penyakit dan apakah baru-baru ini pernah mengalami infeksi. Untuk mendiagnosis abses otak dilakukan pemeriksaan CT sken (computed tomography) atau MRI sken (magnetic resonance imaging) yang secara mendetil memperlihatkan gambaran potongan tiap inci jaringan otak. Abses terlihat sebagai bercak/noktah pada jaringan otak. Kultur darah dan cairan tubuh lainnya akan menemukan sumber infeksi tersebut. Jika diagnosis masih belum dapat ditegakkan, maka sampel dari bercak/noktah tersebut diambil dengan jarum halus yang dilakukan oleh ahli bedah saraf.

1.8.   Penatalaksanaan

Pada umumnya terapi AO meliputi pemberian antibiotik dan tindakan operatif berupa eksisi (aspirasi), drainase dan ekstirpasi.
Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan pemberian antibiotik, sebagai berikut:
1)      Bila gejala klinik belum berlangsung lama (kurang dan 1
minggu) atau kapsul belum terbentuk.

2)      Sifat-sifat abses:
a.       Abses yang lokasinya jauh dalam jaringan otak merupakan kontraindikasi operasi.
b.      Besar abses.
c.       Soliter atau multipel; pada abses multipel tidak dilakukan operasi
Pemilihan antibiotik didasarkan hasil pemeriksaan bakteriologik dan sensitivitas. Sebelum ada hash pemeriksaan bakteriologik dapat diberikan antibiotik secana polifragmasi ampisilin/penisilin dan kioramfenikol. Bila penyebabnya kuman an-aerob dapat diberikan metronidasol. Golongan sefalosporin generasi ke tiga dapat pula digunakan. Tindakan pembedahan dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas.
Ada 2 pendekatan yang dilakukan dalam terapi abses otak, yaitu :
1.      Antibiotika untuk mengobati infeksi---Jika diketahui infeksi yang terjadi disebabkan oleh bakteri yang spesifik, maka diberikan antibiotika yang sensitif terhadap bakteri tersebut, paling tidak antibiotika berspektrum luas untuk membunuh lebih banyak kuman penyakit. Paling sedikit antibiotika yang diberikan selama 6 hingga 8 minggu untuk menyakinkan bahwa infeksi telah terkontrol.

2.      Aspirasi atau pembedahan untuk mengangkat jaringan abses---Jaringan abses diangkat atau cairan nanah dialirkan keluar tergantung pada ukuran dan lokasi abses tersebut. Jika lokasi abses mudah dicapai dan kerusakkan saraf yang ditimbulkan tidak terlalu membahayakan maka abses diangkat dengan tindakan pembedahan. Pada kasus lainnya, abses dialirkan keluar baik dengan insisi (irisan) langsung atau dengan pembedahan yaitu memasukkan jarum ke lokasi abses dan cairan nanah diaspirasi (disedot) keluar. Jarum ditempatkan pada daerah abses oleh ahli bedah saraf dengan bantuan neurografi stereotaktik, yaitu suatu tehnik pencitraan radiologi untuk melihat jarum yang disuntikkan ke dalam jaringan abses melalui suatu monitor. Keberhasilan pengobatan dilakukan dengan menggunakan MRI sken atau CT sken untuk menilai keadaan otak dan abses tersebut. Antikonvulsan diberikan untuk mengatasi kejang dan penggunaanya dapat diteruskan hingga abses telah berhasil diobati.
Hubungi dokter bila mengalami sakit kepala yang kontinu dan keadaannnya makin memburuk dalam beberapa hari atau minggu. Jika sakit kepala disertai mual, muntah, kejang, gangguan kepribadian atau kelemahan otot, segeralah mencari pertolongan.

1.9.   Komplikasi
a.       Herniasi unkal atau tonsiler karena kenaikan TIK
Ventrikulitis karena pecahnya abses di ventrikel
b.      Perdarahan abses

ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Abses Otak
2.1.  Pengkajian
a)      Anamnesis
Identitas klien ;usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tgl MRS, askes dst.
b)      Keluhan utama ; nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran.
c)      Riwayat penyakit sekarang ; demam, anoreksi dan malaise, peninggian tekanan intrakranial serta gejala nerologik fokal .
d)     Riwayat penyakit dahulu ; pernah atau tidak menderita infeksi telinga (otitis media, mastoiditis ) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis,abses paru,empiema )jantung ( endokarditis ), organ pelvis, gigi dan kulit.

2.2.            Pemeriksaan fisik
- KU
2.3.            Pola fungsi kesehatan :
a)      Aktivitas/istirahat :
gejala ; malaise
Tanda ; ataksia,masalah berjalan,kelumpuhan,gerakan involunter.
b)      Sirkulasi
Gejala ; adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis
Tanda ; TD meningkat,nadi menurun (berhubungan peningkatan TIK dan pengaruh pada vasomotor).
c)      Eliminasi
Tanda;adanya inkontensia dan/atau retensi
d)     Nutrisi
Gejala ; kehilangan nafsu makan,disfagia (pada periode akut )
Tanda ; anoreksia,muntah.turgor kulit jelek,membran mukosa kering.
e)      Higiene
Tanda ; ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri(pada periode akut)
f)       Neurosensori
Gejala ; sakit kepala,parestesia,timbul kejang, gangguan penglihatan
Tanda ; penurunan status mental dan kesadaran,kehilangan memori, sulit dalam mengambil keputusan,afasia,mata; pupil unisokor (peningkatan TIK),nistagmus.kejang umum lokal.
g)      Nyeri /kenyamanan
Gejala ; Sakit kepala mungkin akan diperburuk oleh ketegangan;leher/punggung kaku.
Tanda ; tampak terus terjaga. Menangis/mengeluh.
h)      Pernapasan
Gejala ; adanya riwayat infeksi sinus atau paru
Tanda ;peningkatan kerja pernapasan ( episode awal ). Perubahan mental (letargi sampai koma) dan gelisah.
i)        Keamanan
Gejala ; adanya riwayat ISPA/infeksi lain meliputi ; mastoiditis, telinga tengah, sinus,abses gigi; infeksi pelvis,abdomen atau kulit;fungsi lumbal, pembedahan, fraktur pada tengkorak/cedera kepala.
Tanda ; suhu meningkat, diaforesis, menggigil. Kelemahan secara umum; tonus otot flaksid atau spastik;paralisis atau parese. Gangguan sensasi.

2.4.            Prosedur diagnostic
a)      Pemeriksaan laboratorium
LED meningkat dan mungkin disertai leukositosis.
b)      Pemeriksaan penunjang
a.       CT Scan
Mengidentifikasi dan melokalisasi abses besar dan abses kecil disekitarnya.(price,2005;1155)
b.      Arteriografi
Menunjukkan lokasi abses di lobus temporal atau abses cerebellum.(long,1996;194)

2.5.            Diagnosa Keperawatan
1.      Nyeri akut b.d proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi
Tujuan : Nyeri teratasi atau dapat dikontrol.
Kriteria hasil : klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat diatasi, dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri, klien tidak gelisah, skala nyeri 0-1 atau teratasi.
Intervensi :
a.       berikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap sesuai indikasi
(menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar atau sensitivitas pada cahaya dan meningkatkan relaksasi )
b.      Tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang penting.
(menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri)
Kolaborasi
c.       Berikan analgetik, seperti asetaminofen, kodein.
( untuk menghilangkan nyeri )
2.      Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan,terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan mis tirah baring, imobilisasi.
Tujuan : klien dapat menunjukkan cara mobilisasi secara optimal
Kriteria hasil : klien dapat mempertahankan posisi tubuh yang optimal, klien dapat mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi tubuh yang sakit,mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
Intervensi :
a.       Periksa kembali kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi
(mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan )
b.      Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4)
Nilai 0 : klien mampu mandiri.
Nilai 1 : memerlukan bantuan/peralatan yang minimal.
Nilai 2 :memerlukan bantuan sedang/dengan pengawasan/diajarkan
Nilai 3 : memerlukan bantuan/peralatan yang terus menerus dan alat khusus.
Nilai 4 : tergantung secara total pada pemberi asuhan.
Seseorang dalam semua katagori sama-sama mempunyai risiko kecelakaan namun katagori 2-4 mempunyai resiko terbesar untuk terjadinya bahaya tersebut sehubungan dengan imobilisasi.
c.       Letakkan pasien pada posisi tertentu. Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi antar waktu.
(perubahan posisi yang teratur menyebabkan penyebaran terhadap berat badan dan menigkatkan sirkulasi seluruh bagian tubuh.
d.      Berikan bantuan untuk melakukan ROM
(mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstrimitas dan menurunkan terjadinya vena statis.
e.       Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab, ganti linen/pakaian yang basah tersebut tetap bersih dan bebas dari kerutan.
( meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan terjadinya eksekoriasi kulit )
f.       Pantau haluaran urin. Catat warna dan bau urine. Bantu dengan latihan kandung kemih bila memungkinkan.
3.      Perubahan persepsi-sensori b.d defisit neurologis.
Tujuan : mengembalikan dan mempertahankan fungsi persepsi sensori.
Kriteria hasil : tingkat kesadaran normal, fungsi persepsi membaik.

Intervensi
a.       Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara,alam perasaan,sensorik, dan proses pikir.
b.      Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin,benda tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan alat tubuh.
c.       Bicara dengan suara yang lembut dan pelan. Gunakan kalimat yang pendek dan sederhana. kolaborasi
d.      Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi kognitif.
4.      Risti terhadap penyebaran infeksi b.d diseminata hematogen dari patogen, statis cairan.
Tujuan : Penyebaran infeks tidak terjadi
Kriteria hasil : mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tidak ada bukti penyebaran infeksi endogen atau keterlibatan orang lain.

Intervensi :
a.       berikan tindakan isolasi sebagai tindakan pencegahan
( isolasi diperlukan sampai organismenya diketahui/dosis antibiotik yang cocok telah diberikan untuk menurunkan risiko penyebaran pada orang lain )
b.      pertahankan tehnik aseptik dan tehnik mencuci tangan yang tepat baik pasien, pengunjung, maupun staf. Pantau dan batasi pengunjung/staf sesuai kebutuhan.
(menurunkan resiko pasien terkena infeksi sekunder. Mengotrol penyebaran sumber infeksi, mencegah pemajanan pada individu terinfeksi)
c.       Teliti adanya keluhan nyeri dada, berkembangnya nadi yang tidak teratur atau demam yang terus menerus.
( infeksi sekunder seperti miokarditis/perikarditis dapat berkembang dan memerlukan intervensi lanjut )
d.      Kolaborasi
a)      berikan terapi antibiotik sesuai indikasi
(obat yang dipilih tergantung pada tipe infeksi dan sensitivitas individu.
b)      siapkan untuk intervensi pembedahan sesuai indikasi.
( mungkin memerlukan drainase dari adanya abses otak atau penglepasan pirau ventrikel” mencegah ruptur/mengontrol penyebaran infeksi )
5.      Risti perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral
Tujuan : Pasien kembali pada,keadaan status neurologis sebelum sakit, Meningkatnya kesadaran pasien dan fungsi sensoris.
Kriteria hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal, Rasa sakit kepala berkurang, Kesadaran meningkat, adanya peningkatan kognitif dan tidak ada atau hilangnya tanda-tanda tekanan intrakranial yang meningkat.

Intervensi :
a.       pantau status neurologis dengan teratur dan bandingkan dengan keadaan normalnya, seperti GCS ( pengkajian kecenderungan adanya perubahan tingkat kesadaran dan potensial penigkatan tekanan intrakranial adalah sangat berguna dalam menentukan lokasi,dan perkembangan dari kerusakan cerebral )
b.      pantau pernapasan, catat pola dan irama pernapasan.
( tipe dari pola pernapasan merupakan tanda yang berat dari adanya peningkatan TIK/daerah serebral yang terkena dan mungkin merupakan indikasi perlunya untuk melakukan intubasi disertai pemasangan ventilator mekanik.
c.       pantau intake dan output. Catat karakteristik urine, turgor kulit dan keadaan membran mukosa. (hipertermi menigkatkan kehilangan air tak kasat mata dan menigkatkan resiko dehidrasi, terutama jika kesadaran menurun.
d.      Kolaborasi
a)      tinggikan kepala tempat tidur sekitar 15-45 derajat sesuai toleransi dan indikasi. Jaga kepala tetap pada posisi netral.
(peningkatan aliran vena dari kepala akan menurunkan TIK.)
b)      berikan obat sesuai indikasi seperti ; deksametason, klorpomasin, asetaminofen
Deksametason : dapat menurunkan permeabilitas kapiler untuk membatasi pembentukan edema serebral.
Klorpomasin : obat pilihan dalam mengatasi kelainan postut tubuh atau mengigil yang dapat meningkatkan TIK.
Asetaminofen : menurunkan metabolism seluler/menurunkan konsumsi oksigen dan resiko kejang.
6.      Kurang pengetahuan tentang kondisi abses otak, prognosis dan perawatan abses otak b.d kurangnya informs
Tujuan : Klien mengetahui tentang kondisi abses otak, prognosis dan perawatan abses otak
Kriteria Hasil : Klien terlihat tenang, Klien mengerti tentang kondisinya

Intervensi :
a.       Berikan informasi dalam bentuk-bentuk dan segmen yang sederhana.
( menurunnya rentang perhatian pasien dapat menurunkan kemampuan untuk menerima,mengingat,menyimpan informasi yang diberikan,)
b.      Beri kesempatan pada klien dan keluarga untuk bertanyaa mengenai hal-hal yang tidak diketahuinya.

0 komentar:

Iklan